![]() |
Source : www.fawnfruits.com |
Yang aku ingat saat kepergiannya 2 tahun lalu, dia sempat berpamitan denganku. Dia meminta izin untuk bertarung dan ingin menaklukan ibu kota. Dia ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik dibandingkan untuk tetap tinggal dikampung yang setiap harinya hanya dapat memakan tempe dan tahu. Apabila ada kumpul-kumpul para warga, barulah kita menikmati hindangan yang begitu nikmat seperti daging kambing, sapi, ayam dan hewan hewan ternak yang disumbangkan warga untuk pesta rakyat itu. Itupun dilakukan hanya setahun sekali, jadi kita hanyak bisa makan enak sekali dalam setahun, sisanya kita hanya bisa makan seadanya saja.
Dia kembali, dia pulang, dia datang.
Tidak hanya datang dengan anting, kalung dan gelang yang berkilau saja. Dia membawa sebuah mobil mewah, mobil yang kilaunya membuat mataku tak ingin melewatkannya. Mobil berwarna hitam elegant dengan seorang supir yang menggunakan seragam hitam gagah dengan badan yang sangat besar. Aku pikir itu bukan hanya sekedar supir tapi juga mungkin bodyguard.
Dia berjalan, dia melangkah, menghampiriku.
Dia datang padaku, sambil melemparkan senyumnya yang sekarang sudah seperti parit yang sangat tajam yang dilumuri darah, sama seperti bibirnya yang sudah berwarna merah. Padahal dulu bibirnya pecah pecah.
Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat.
Akhirnya tepat didepan mata, seorang gadis manis, lugu dan polos yang pernah ada kini berubah menjadi monster mall. Lihat saja semua yang dipakai, semua barang bermerk, semua tidak dibeli dipinggiran jalan dan tak mungkin dia mandi dengan air sungai seperti dulu, mungkin sekarang dia sudah mandi dengan susu atau madu.
Masih tersenyum dihadapanku..
Tanpa sadar badanku ini terasa seperti dipakaikan selimut, sangat hangat. Selimut yang berbau harum. Bukan, ini bukan bukan selimut. Ini adalah dia yang baru saja kembali dari ibu kota yang memelukku. Dia mencengkramku dengan sangat kencang dan tiba tiba terasa ada air yang mengalir dipundakku. Hujan kah ? ternyata itu air matanya yang jatuh dipundakku. Tanpa kata kita dia masih memelukku dan tanpa suarapun aku masih dipeluknya. Sampai akhirnya dia melepaskan pelukannya dari tubuhku. Dia masih tetap menangis, terus menangis. Tangisannya mendalam, tangisannya menganak sungai, tangisannya seperti tak bisa terhenti terus mengalir, jatuh dari mata turun kepipinya. Apa yang terjadi ?
Dengan polos kutanyakan mengapa dia menangis, apa kau tak senang setelah pergi dari kampung ini dan pulang dengan apa yang kau impikan ?
Akhirnya suaranya keluar juga, suara kecil yang diiringi dengan isakan itu akhirnya berkata kata.
Dia kembali bukan untuk pulang, dia kembali hanya untuk menanyakan sebuah pertanyaan padaku apakah aku sudah menikah ? apakah aku sudah berkeluarga ? apakah aku sudah memiliki anak ?
dan jika itu semua belum terjadi, niatnya adalah mengajakku pergi dengannya ke ibu kota. Menikah dengannya seperti apa yang telah ia janjikan padaku saat terakhir kali kita bertemu saat ia pamitan. Dia berjanji akan pulang setelah ia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Kejadian pada saat itu indah, aku seperti seorang yang ingin dibuktikan cintanya oleh seorang gadis yang akhirnya pulang untuk menepati janjinya.
Yah, aku sudah menikah dan dikaruniai seorang anak dengan seorang istri yang sangat cantik dari desa ini. Aku tidak menepati janjinya, aku berdosa.
Dia terus menangis, dia menamparku dengan sangat kencang. Darahpun akhirnya muncul dari hidungku. Dia berteriak keras memaki makiku, terus menamparku lagi dan lagi. Dan akhirnya dia pun pergi.
Ternyata selama 2 tahun ini dia pergi ke ibu kota hanya untukku. Untuk membuatku bahagia dengannya, tapi di ibu kota dia tidak pernah mendapatkan pekerjaan dengan hanya berijasah SD saja dan akhirnya memutuskan untuk menjual dirinya kepada para lelaki hidung belang dan pulang kehadapanku tanpa rasa dosa
- Mei 2014